Are you over 18 and want to see adult content?
More Annotations
Photo Favors | Photo Booth | Mitzvahs, Corporate & PR Events
Are you over 18 and want to see adult content?
Bowling This Month - Advanced Bowling Tips and Ball Reviews for Serious Bowlers
Are you over 18 and want to see adult content?
Home Page - Blue Ridge PartnersBlue Ridge Partners
Are you over 18 and want to see adult content?
Greekbill: Financial Solutions for the Fraternal Community
Are you over 18 and want to see adult content?
Begbies Traynor Corporate Recovery and Professional Services
Are you over 18 and want to see adult content?
История России с древнейших времен до наших дней
Are you over 18 and want to see adult content?
صنعت چوب کیان - تولید کننده انواع راحتی و مبلمان خانگی
Are you over 18 and want to see adult content?
Monterosa 4000 – La regina delle alpi
Are you over 18 and want to see adult content?
A complete backup of oyeedraw.tumblr.com
Are you over 18 and want to see adult content?
Favourite Annotations
A complete backup of offthecuffldn.co.uk
Are you over 18 and want to see adult content?
A complete backup of toomuchonline.org
Are you over 18 and want to see adult content?
A complete backup of camisetasfutboleses.com
Are you over 18 and want to see adult content?
A complete backup of helpmacsynchbutt.tk
Are you over 18 and want to see adult content?
A complete backup of mychicagosteak.com
Are you over 18 and want to see adult content?
A complete backup of worldoffemale.com
Are you over 18 and want to see adult content?
A complete backup of technicalmuseum.cz
Are you over 18 and want to see adult content?
Text
ADBM LANJUTAN
Api di Bukit Menoreh Karya Ki SH Mintardja terpaksa berhenti di jilid 396 karena beliaunya meninggal dunia. Penasaran., begitulah mungkin yang ada di dalam dada semua pecinta ADBM. Berpangkal dari hal tersebut, maka beberapa orang terpanggil untuk mencoba meneruskan kisah Agung Sedayu dan kawan-kawannya (juga musuh-musuhnya). Paling tidak, ada 3 orang yang telah mencoba STSD-31 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-30 | lanjut ke STSD-32 Bagian 1 Dalam pada itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang berada di longkangan sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang telah memasuki bilik Sekar Mirah. Suara derit pintu bilik itu cukup halus dan hanya sesaat sehingga membuat kedua perempuan linuwih itu tidak mendengar. Apalagi saat itukeduanya
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. Semoga naskah yang ini bisa menjadi pelepas kerinduan terhadap lanjutan kisah ADBM. SINOPSIS Pemberontakan Pangeran Jayaraga di Panaraga masih menyisakan luka bagi Mataram. Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati berniat untuk tetirah sekaligus berburu sekedar untukmelepaskan
STSD-30 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-29 | lanjut ke STSD-31 Bagian 1 BUKAN orang yang berdiri tepat di depan pintu yang terbuka sejengkal itu yang membuat dada Ki Patih berdesir tajam, namun seseorang yang berdiri di belakangnya yang membuat Ki Patih terkejut bagaikan tersengat seekor Kalajengking. “Ki Tumenggung Singaranu,” desis Ki Patih tanpa sadar sambil mengerutkan keningnya dalam STSD-30 | API DI BUKIT MENOREH | PAGE 3TRANSLATE THIS PAGE kembali ke STSD-29 | lanjut ke STSD-31 Bagian 1 BUKAN orang yang berdiri tepat di depan pintu yang terbuka sejengkal itu yang membuat dada Ki Patih berdesir tajam, namun seseorang yang berdiri di belakangnya yang membuat Ki Patih terkejut bagaikan tersengat seekor Kalajengking. “Ki Tumenggung Singaranu,” desis Ki Patih tanpa sadar sambil mengerutkan keningnya dalam STSD-27 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-26 | lanjut ke STSD-28 Bagian 1 “NAH, KI RANGGA,” berkata sang Maharsi kemudian membangunkan Ki Rangga dari lamunan, “Marilah kita berhadapan secara jantan! Tunjukkan dirimu yang sebenarnya! Jangan hanya berani bermain petak umpet!” Untuk beberapa saat ujud Ki Rangga itu justru telah termenung. Glagah Putih yang melihat ujud semu kakak sepupunya itu API DI BUKIT MENOREH API DI BUKIT MENOREH Judul Buku: Api di Bukit Menoreh Karya: SH Mintardja Gambar Kulit: Herry Wibowo Illustrasi: Suparto/drs. Sudyono Jilid: 396 Jilid Format: A5 Halaman: 80 halaman Penerbit: Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir (396)dicetak tahun 2002.
COMMENTS FOR API DI BUKIT MENOREH Alhamdulillah. bundel ketiga sudah berhasil diunggah. Yang menunggu cerita kisah Agung Sedayu, monggo. Comment on STSD-32 by P. Satpam API DI BUKIT MENOREH Melestarikan karya agung anak bangsa. Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. STSD-32 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-31 | lanjut ke STSD-33 Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yangADBM LANJUTAN
Api di Bukit Menoreh Karya Ki SH Mintardja terpaksa berhenti di jilid 396 karena beliaunya meninggal dunia. Penasaran., begitulah mungkin yang ada di dalam dada semua pecinta ADBM. Berpangkal dari hal tersebut, maka beberapa orang terpanggil untuk mencoba meneruskan kisah Agung Sedayu dan kawan-kawannya (juga musuh-musuhnya). Paling tidak, ada 3 orang yang telah mencoba STSD-31 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-30 | lanjut ke STSD-32 Bagian 1 Dalam pada itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang berada di longkangan sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang telah memasuki bilik Sekar Mirah. Suara derit pintu bilik itu cukup halus dan hanya sesaat sehingga membuat kedua perempuan linuwih itu tidak mendengar. Apalagi saat itukeduanya
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. Semoga naskah yang ini bisa menjadi pelepas kerinduan terhadap lanjutan kisah ADBM. SINOPSIS Pemberontakan Pangeran Jayaraga di Panaraga masih menyisakan luka bagi Mataram. Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati berniat untuk tetirah sekaligus berburu sekedar untukmelepaskan
STSD-30 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-29 | lanjut ke STSD-31 Bagian 1 BUKAN orang yang berdiri tepat di depan pintu yang terbuka sejengkal itu yang membuat dada Ki Patih berdesir tajam, namun seseorang yang berdiri di belakangnya yang membuat Ki Patih terkejut bagaikan tersengat seekor Kalajengking. “Ki Tumenggung Singaranu,” desis Ki Patih tanpa sadar sambil mengerutkan keningnya dalam STSD-30 | API DI BUKIT MENOREH | PAGE 3TRANSLATE THIS PAGE kembali ke STSD-29 | lanjut ke STSD-31 Bagian 1 BUKAN orang yang berdiri tepat di depan pintu yang terbuka sejengkal itu yang membuat dada Ki Patih berdesir tajam, namun seseorang yang berdiri di belakangnya yang membuat Ki Patih terkejut bagaikan tersengat seekor Kalajengking. “Ki Tumenggung Singaranu,” desis Ki Patih tanpa sadar sambil mengerutkan keningnya dalam STSD-27 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-26 | lanjut ke STSD-28 Bagian 1 “NAH, KI RANGGA,” berkata sang Maharsi kemudian membangunkan Ki Rangga dari lamunan, “Marilah kita berhadapan secara jantan! Tunjukkan dirimu yang sebenarnya! Jangan hanya berani bermain petak umpet!” Untuk beberapa saat ujud Ki Rangga itu justru telah termenung. Glagah Putih yang melihat ujud semu kakak sepupunya itu API DI BUKIT MENOREH API DI BUKIT MENOREH Judul Buku: Api di Bukit Menoreh Karya: SH Mintardja Gambar Kulit: Herry Wibowo Illustrasi: Suparto/drs. Sudyono Jilid: 396 Jilid Format: A5 Halaman: 80 halaman Penerbit: Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir (396)dicetak tahun 2002.
COMMENTS FOR API DI BUKIT MENOREH Alhamdulillah. bundel ketiga sudah berhasil diunggah. Yang menunggu cerita kisah Agung Sedayu, monggo. Comment on STSD-32 by P. Satpam API DI BUKIT MENOREH Melestarikan karya agung anak bangsa. Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416.ADBM LANJUTAN
Api di Bukit Menoreh Karya Ki SH Mintardja terpaksa berhenti di jilid 396 karena beliaunya meninggal dunia. Penasaran., begitulah mungkin yang ada di dalam dada semua pecinta ADBM. Berpangkal dari hal tersebut, maka beberapa orang terpanggil untuk mencoba meneruskan kisah Agung Sedayu dan kawan-kawannya (juga musuh-musuhnya). Paling tidak, ada 3 orang yang telah mencoba SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. Semoga naskah yang ini bisa menjadi pelepas kerinduan terhadap lanjutan kisah ADBM. SINOPSIS Pemberontakan Pangeran Jayaraga di Panaraga masih menyisakan luka bagi Mataram. Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati berniat untuk tetirah sekaligus berburu sekedar untukmelepaskan
TERUSAN ADBM
Terusan ADBM Ini merupakan lanjutan ADBM versi mbah_man. Tidak ada yang bisa menyamai ADBM karya almarhum Ki SH Mintardja, meskipun demikian ADBM versi mbah_man menurut Satpam sudah mirip dengan alur cerita almarhum. Gaya bahasa sedikit berbeda, sedang alur cerita mungkin tidak sama dengan alur yang dulu pernah dibuat oleh Ki SHM (karena orangnya memang STSD-26 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-25 | lanjut ke STSD-27 Bagian 1 DALAM PADA ITU di halaman banjar padukuhan induk, Ki Waskita yang sedang bertempur telah mendengar suara derap kaki-kaki kuda ditingkah suara kenthong titir yang membahana. Derap kaki-kaki kuda itu sepertinya sedang menuju ke banjar padukuhan induk dengan sangat cepatnya. Lawan Ki Waskita pun agaknya telah mendengar STSD-31 | API DI BUKIT MENOREH | PAGE 2TRANSLATE THIS PAGE kembali ke STSD-30 | lanjut ke STSD-32 Bagian 1 Dalam pada itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang berada di longkangan sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang telah memasuki bilik Sekar Mirah. Suara derit pintu bilik itu cukup halus dan hanya sesaat sehingga membuat kedua perempuan linuwih itu tidak mendengar. Apalagi saat itukeduanya
TADBM-403 | API DI BUKIT MENOREH > PANDAN WANGI terkesiap. Penunggang kuda yang memasuki regol rumah Ki Demang Sangkal Putung itu sangat dikenalnya. Hampir hampir tak percaya dengan pandangan matanya sendiri, Pandan Wangi yang kebetulan sore itu sedang menyirami bunga di sebelah pendapa hampir saja meneriakkan sebuah nama jikalau saja STSD-30 | API DI BUKIT MENOREH | PAGE 2TRANSLATE THIS PAGE kembali ke STSD-29 | lanjut ke STSD-31 Bagian 1 BUKAN orang yang berdiri tepat di depan pintu yang terbuka sejengkal itu yang membuat dada Ki Patih berdesir tajam, namun seseorang yang berdiri di belakangnya yang membuat Ki Patih terkejut bagaikan tersengat seekor Kalajengking. “Ki Tumenggung Singaranu,” desis Ki Patih tanpa sadar sambil mengerutkan keningnya dalam STSD-23 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-22 | lanjut ke STSD-24 Bagian 1 KI GEDE yang melihat putrinya dalam kesulitan segera melangkah mendekat. Namun prajurit berwajah kasar itu telah membentak, “Diam di tempatmu atau aku pluntir kepalamu sampai patah!” Bergetar dada Ki Gede mendapat perlakuan seperti itu. Namun ketika dia sempat berpaling ke arah KiRangga, tampak Ki
STSD-01 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke TADBM-416 | lanjut ke STSD-02 Bagian 1 MALAM baru saja lewat sirep bocah. Angin malam yang bertiup cukup keras telah menggugurkan daun-daun kering pepohonan yang tumbuh di halaman istana Kepatihan. Di ruang dalam, tampak lima orang sedang duduk terpekur menunggu titah Ki Patih Mandaraka. Tidak ada seorang pun yang beranimembuka suara.
API DI BUKIT MENOREH Melestarikan karya agung anak bangsa. Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. ADBM3-280 - API DI BUKIT MENOREHTRANSLATE THIS PAGE AGUNG SEDAYU mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan keduanya. Tetapi bukankah Mataram nampaknya juga dalam keadaan tenang?” Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, “Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian mendungyang mengalir dari
STSD-32 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-31 | lanjut ke STSD-33 Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yangADBM LANJUTAN
Api di Bukit Menoreh Karya Ki SH Mintardja terpaksa berhenti di jilid 396 karena beliaunya meninggal dunia. Penasaran., begitulah mungkin yang ada di dalam dada semua pecinta ADBM. Berpangkal dari hal tersebut, maka beberapa orang terpanggil untuk mencoba meneruskan kisah Agung Sedayu dan kawan-kawannya (juga musuh-musuhnya). Paling tidak, ada 3 orang yang telah mencoba SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. Semoga naskah yang ini bisa menjadi pelepas kerinduan terhadap lanjutan kisah ADBM. SINOPSIS Pemberontakan Pangeran Jayaraga di Panaraga masih menyisakan luka bagi Mataram. Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati berniat untuk tetirah sekaligus berburu sekedar untukmelepaskan
STSD-31 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-30 | lanjut ke STSD-32 Bagian 1 Dalam pada itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang berada di longkangan sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang telah memasuki bilik Sekar Mirah. Suara derit pintu bilik itu cukup halus dan hanya sesaat sehingga membuat kedua perempuan linuwih itu tidak mendengar. Apalagi saat itukeduanya
STSD-27 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-26 | lanjut ke STSD-28 Bagian 1 “NAH, KI RANGGA,” berkata sang Maharsi kemudian membangunkan Ki Rangga dari lamunan, “Marilah kita berhadapan secara jantan! Tunjukkan dirimu yang sebenarnya! Jangan hanya berani bermain petak umpet!” Untuk beberapa saat ujud Ki Rangga itu justru telah termenung. Glagah Putih yang melihat ujud semu kakak sepupunya itu TADBM-403 | API DI BUKIT MENOREH > PANDAN WANGI terkesiap. Penunggang kuda yang memasuki regol rumah Ki Demang Sangkal Putung itu sangat dikenalnya. Hampir hampir tak percaya dengan pandangan matanya sendiri, Pandan Wangi yang kebetulan sore itu sedang menyirami bunga di sebelah pendapa hampir saja meneriakkan sebuah nama jikalau saja API DI BUKIT MENOREH API DI BUKIT MENOREH Judul Buku: Api di Bukit Menoreh Karya: SH Mintardja Gambar Kulit: Herry Wibowo Illustrasi: Suparto/drs. Sudyono Jilid: 396 Jilid Format: A5 Halaman: 80 halaman Penerbit: Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir (396)dicetak tahun 2002.
COMMENTS FOR API DI BUKIT MENOREH Alhamdulillah. bundel ketiga sudah berhasil diunggah. Yang menunggu cerita kisah Agung Sedayu, monggo. Comment on STSD-32 by P. Satpam API DI BUKIT MENOREH Melestarikan karya agung anak bangsa. Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. ADBM3-280 - API DI BUKIT MENOREHTRANSLATE THIS PAGE AGUNG SEDAYU mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan keduanya. Tetapi bukankah Mataram nampaknya juga dalam keadaan tenang?” Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, “Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian mendungyang mengalir dari
STSD-32 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-31 | lanjut ke STSD-33 Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yangADBM LANJUTAN
Api di Bukit Menoreh Karya Ki SH Mintardja terpaksa berhenti di jilid 396 karena beliaunya meninggal dunia. Penasaran., begitulah mungkin yang ada di dalam dada semua pecinta ADBM. Berpangkal dari hal tersebut, maka beberapa orang terpanggil untuk mencoba meneruskan kisah Agung Sedayu dan kawan-kawannya (juga musuh-musuhnya). Paling tidak, ada 3 orang yang telah mencoba SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH Satu karya mbah_man (paneMBAHan MANdaraka) setelah menamatkan TADBM di jilid 416. Semoga naskah yang ini bisa menjadi pelepas kerinduan terhadap lanjutan kisah ADBM. SINOPSIS Pemberontakan Pangeran Jayaraga di Panaraga masih menyisakan luka bagi Mataram. Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati berniat untuk tetirah sekaligus berburu sekedar untukmelepaskan
STSD-31 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-30 | lanjut ke STSD-32 Bagian 1 Dalam pada itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang berada di longkangan sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang telah memasuki bilik Sekar Mirah. Suara derit pintu bilik itu cukup halus dan hanya sesaat sehingga membuat kedua perempuan linuwih itu tidak mendengar. Apalagi saat itukeduanya
STSD-27 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-26 | lanjut ke STSD-28 Bagian 1 “NAH, KI RANGGA,” berkata sang Maharsi kemudian membangunkan Ki Rangga dari lamunan, “Marilah kita berhadapan secara jantan! Tunjukkan dirimu yang sebenarnya! Jangan hanya berani bermain petak umpet!” Untuk beberapa saat ujud Ki Rangga itu justru telah termenung. Glagah Putih yang melihat ujud semu kakak sepupunya itu TADBM-403 | API DI BUKIT MENOREH > PANDAN WANGI terkesiap. Penunggang kuda yang memasuki regol rumah Ki Demang Sangkal Putung itu sangat dikenalnya. Hampir hampir tak percaya dengan pandangan matanya sendiri, Pandan Wangi yang kebetulan sore itu sedang menyirami bunga di sebelah pendapa hampir saja meneriakkan sebuah nama jikalau saja API DI BUKIT MENOREH API DI BUKIT MENOREH Judul Buku: Api di Bukit Menoreh Karya: SH Mintardja Gambar Kulit: Herry Wibowo Illustrasi: Suparto/drs. Sudyono Jilid: 396 Jilid Format: A5 Halaman: 80 halaman Penerbit: Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir (396)dicetak tahun 2002.
COMMENTS FOR API DI BUKIT MENOREH Alhamdulillah. bundel ketiga sudah berhasil diunggah. Yang menunggu cerita kisah Agung Sedayu, monggo. Comment on STSD-32 by P. Satpam ADBM3-280 - API DI BUKIT MENOREHTRANSLATE THIS PAGE AGUNG SEDAYU mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan keduanya. Tetapi bukankah Mataram nampaknya juga dalam keadaan tenang?” Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, “Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian mendungyang mengalir dari
ADBM3 - API DI BUKIT MENOREH Telah selesai Api di Bukit Menoreh Seri dua jilid 100 selanjutnya, monggo dinikmati Seri tiga jilid 201-300 Lereng Gunung Kawi, Mei 2012 STSD-30 | API DI BUKIT MENOREH kembali ke STSD-29 | lanjut ke STSD-31 Bagian 1 BUKAN orang yang berdiri tepat di depan pintu yang terbuka sejengkal itu yang membuat dada Ki Patih berdesir tajam, namun seseorang yang berdiri di belakangnya yang membuat Ki Patih terkejut bagaikan tersengat seekor Kalajengking. “Ki Tumenggung Singaranu,” desis Ki Patih tanpa sadar sambil mengerutkan keningnya dalam TADBM-403 | API DI BUKIT MENOREH > PANDAN WANGI terkesiap. Penunggang kuda yang memasuki regol rumah Ki Demang Sangkal Putung itu sangat dikenalnya. Hampir hampir tak percaya dengan pandangan matanya sendiri, Pandan Wangi yang kebetulan sore itu sedang menyirami bunga di sebelah pendapa hampir saja meneriakkan sebuah nama jikalau saja ADBM2-105 | API DI BUKIT MENOREH | PAGE 2TRANSLATE THIS PAGE “JIKA tidak? Ternyata keempat orang perwira itu belum kita kenal sama sekali.” desis Agung Sedayu. “Tentu agak aneh.” “Apakah mungkin karena sesuatu hal Pajang mengirimkan langsung prajurit-prajurit ke daerah ini?,” bertanya Agung Sedayu. “Menurut pertimbanganku, itu tidak mungkin. Mereka tinggal memerintahkan saja kepada Untara seandainya mereka mendapat FADBM-403 | API DI BUKIT MENOREH > DEMIKIANLAH beberapa saat kemudian kelompok Gajah Liwung tersebut telah mendekati padukuhan di perbatasan tanah perdikan Menoreh. Derap kuda yang masih tetap berpacu kencang itu akhirnya mulai melambat begitu Rara Wulan telah memberikan isyaratnya. Sebentar lagi senja akan segera turun. Kita akan langsung menghadap Pangeran STSD-30 | API DI BUKIT MENOREH | PAGE 3TRANSLATE THIS PAGE kembali ke STSD-29 | lanjut ke STSD-31 Bagian 1 BUKAN orang yang berdiri tepat di depan pintu yang terbuka sejengkal itu yang membuat dada Ki Patih berdesir tajam, namun seseorang yang berdiri di belakangnya yang membuat Ki Patih terkejut bagaikan tersengat seekor Kalajengking. “Ki Tumenggung Singaranu,” desis Ki Patih tanpa sadar sambil mengerutkan keningnya dalam TADBM-411 | API DI BUKIT MENOREH > Bagian 1 “NAH,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku akan melanjutkan perjalananku mendaki perbukitan Menoreh. Terserah kepadamu anak muda, apakah engkau akan mengikuti aku ataukah melanjutkan perjalananmu sendiri menemui Ki Rangga Agung Sedayu?” Untuk beberapa saat anak muda itu masih termangu-mangu. TADBM-416 | API DI BUKIT MENOREH > Bagian 1 “SELAMAT bertemu kembali Kangmas Pangeran,” sapa Pangeran Jayaraga dengan suara yang berat dan dalam, “Apakah ada keperluan yang sangat mendesak sehingga Kangmas Pangeran memerlukan waktu untuk menjumpai aku di tengah padang rumput Lemah Cengkar ini?” Pangeran Ranapati diam-diam mengumpat dalam hati. FADBM-404 | API DI BUKIT MENOREH > RARA SUHITA sengaja tidak mendekat, sampai mereka menyelesaikan seluruh rangkaian tata geraknya terlebih dahulu. "Alas mereka sama”, berkata Rara Suhita dalam hati. “Yang membedakan adalah beberapa jalur perguruan yang menyatu dalam tata gerak itu. Jalur Kedungjati sedikit banyak ikut memberi warna dalam tata gerak Sukra.* Home
* ADBM1
* ADBM2
* ADBM3
* ADBM4
* Logo ADBM Group
* ADBM lanjutan
API DI BUKIT MENOREH Entries RSS | Comments RSS*
KALENDER
May 2021
M
T
W
T
F
S
S
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
*
STATISTIK BLOG
* 7,017,731 kunjungan*
TULISAN TERAKHIR
* SEJENGKAL TANAH SETETES DARAHJanuary 5, 2017
* PEMBUKA
October 20, 2011
*
KOMENTAR
P. Satpam on STSD-32 cakra baskara on STSD-32 cakra baskara on STSD-32Sony on STSD-32
Sony on STSD-32
Indrato Prodjosujitn… on STSD-32 Indrato Prodjosujitn… on STSD-32 Indrato Prodjosujitn… on STSD-32 cakra baskara on STSD-32Sony on STSD-32
*
*
ARCHIVES
* January 2017
* October 2011
STSD-23
BAGIAN 3
Untuk sejenak Ki Rangga berusaha untuk mengabaikan suara suara yang di dengarnya itu. Adalah sangat _deksura_ dan tidak mengenal _suba sita _jika dia berusaha mencuri dengar suara-suara dari arah ruang dalam nDalem Kapangeranan itu. “Sepertinya ada beberapa orang yang sedang mengadakan perundingan,” gumam Ki Rangga dalam hati. Sebenarnya jika Ki Rangga menghendaki, Senapati pasukan khusus itu dapat saja mengetrapkan aji sapta pangrungu untuk mencuri dengar pembicaraan yang sedang berlangsung di ruang dalam itu. Namun semua lamunan Ki Rangga itu terputus ketika terdengar derit pintu ruang tengah dan seseorang yang sudah sangat dikenal Ki Ranggamuncul.
“Selamat malam Pangeran,” sembah Ki Rangga kemudian sambil bergegas berdiri dengan kepala tertunduk dan kedua tangan merangkap didepan dada.
“Duduklah Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil mempersilahkan Ki Rangga duduk kembali. Sejenak kemudian keduanya telah duduk berhadapan dalam jarak beberapa langkah. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Aku sengaja memanggilmu di malam yang sudah cukup larut ini karena memang ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan.” Tampak Ki Rangga membungkukkan badannya ke depan sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Pangeran Pati tersenyum. Katanya kemudian “Namun sebelum itu, aku ingin mendengar laporan tentang perjalananmu ke Gunung Tidar.” Untuk sejenak Ki Rangga dapat bernafas lega walaupun Pangeran Pati belum mengutarakan permasalahan yang sebenarnya. Segera saja secara singkat namun runut Ki Rangga melaporkan hasil perjalanannya bersama kawan-kawan ke lereng Gunung Tidar. Tampak sesekali kening Pangeran Pati itu berkerut jika Ki Rangga menceritakan tentang pertempuran yang dahsyat antara pengawal perdikan Matesih melawan para cantrik di Padepokan Sapta Dhahana. Namun pada akhirnya Pangeran Pati itu tersenyum sambil berkata, “Syukurlah. Pada akhirnya Ki Rangga beserta kawan-kawan mampu mengatasi setiap permasalahan.” “Sendika Pangeran,” jawab Ki Rangga cepat, “Semua itu berkat jasa Ki Ajar Mintaraga dan muridnya yang memberitahu Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya untuk bergerak di saat yang tepat memasuki padepokan Sapta Dhahana.” Kembali kepala Pangeran Pati itu terangguk-angguk. “Nah, sekarang aku ingin mengetahui keadaan para orang-orang tua serta Glagah Putih yang menyertaimu ke Gunung Tidar,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Apakah mereka dalam keadaan sehat-sehat saja? Apakah mereka juga ikut kembali ke Mataram?” “Ampun Pangeran,” jawab Ki Rangga kemudian sambil menghaturkan sembah, “Yang kembali ke Mataram hanya hamba dan Ki Bango Lamatan. Sedangkan Ki Jayaraga dan Ki Waskita tinggal di perdikan Matesih menunggui Glagah Putih yang sedang sakit.” “He?” tampak Pangeran Pati itu terkejut. Tanyanya kemudian, “Mengapa Glagah Putih sakit? Apakah dia menderita luka sewaktu penyerbuan ke Gunung Tidar?” “Ampun Pangeran. Glagah Putih menderita luka dalam yang cukup parah setelah bertempur dengan orang yang menyebut dirinya Pertapa dari goa Langse,” jawab Ki Rangga kemudian. “Pertapa goa Langse? Siapakah dia?” Kembali Ki Rangga menyembah. Kemudian diceritakan secara singkat perguruan-perguruan yang sedianya bergabung dengan Sapta Dhahana. Namun karena Sapta Dhahana telah jatuh, mereka mencari dirinya diPerdikan Matesih.
“Untunglah Ki Rangga dan kawan-kawan telah bergerak cepat,” berkata Pangeran Pati kemudian menanggapi cerita Ki Rangga, “Jika tidak, di Sapta Dhahana tentu akan berkumpul kekuatan yang dahsyat yang akan dapat mengguncang Mataram.” “Sendika Pangeran,” Ki Rangga menimpali sambil menghaturkansembah.
“Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah titah Eyang Buyut Mandaraka kepadamu Ki Rangga?” bertanya Pangeran Pati selanjutnya setelah sejenak mereka terdiam. “Ampun Pangeran, hamba diperintahkan untuk menyiapkan pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh, walaupun nantinya bukan hamba yang akanmemimpinnya.”
“Pasukan khusus? Untuk apa Ki Rangga?” Ki Rangga tertegun. Ternyata dia telah melupakan satu hal yang sangat penting yaitu keberadaan paser beracun yang telah diserahkan kepada KiPatih.
Dengan cepat Ki Rangga menyembah sambil berkata, “Mohon ampun Pangeran. Ada satu hal yang terlewatkan yang belum hamba laporkan.” Kemudian dengan singkat Ki Rangga menceritakan tentang paser beracun dan gerakan sisa-sisa cantrik Sapta Dhahana ke lembah antara Merapidan Merbabu.
Untuk beberapa saat Pangeran Pati justru telah termenung. Entah apa yang sedang dipikirkan. Namun akhirnya Pangeran Pati itu pun mengajukan sebuah pertanyaan, “Ki Rangga, apa keputusan Eyang Buyut sehubungan dengan bukti paserberacun itu?”
“Ampun Pangeran, Ki Patih akan mengerahkan pasukan gabungan termasuk pasukan khusus untuk menghukum Trah Sekar Seda Lepen. Namun hamba dan beberapa orang diperintahkan tetap sebagai cucuk laku. Sementara pengerahan pasukan yang lain akan menjadi tanggung jawab perwira pasukan masing-masing,” jawab Ki Rangga kemudian. “Apakah Eyang Buyut telah memberi ancer-ancer kapan pasukan itu akan bergerak menuju lembah antara Merapi dan Merbabu?” “Mohon ampun Pangeran, Ki Patih memperkirakan beberapa hari setelahhari penobatan.”
Tampak Pangeran Pati kembali termenung. Pandangan matanya lurus ke depan seolah olah akan ditembusnya pintu pringgitan yang tertutup itu. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati itu kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Aku setuju jika Ki Rangga beserta beberapa orang tetap sebagai cucuk laku. Pergerakan pasukan segelar sepapan itu tidak mungkin dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Jauh hari lawan tentu sudah mengetahui pergerakan pasukan itu melalui para telik sandinya,” Pangeran Pati berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Dengan demikian keberadaan Ki Rangga dan kawan-kawan akan sangat penting untuk mengelabuhi lawan. Namun Ki Rangga harus segara menentukan siapa saja yang akan ikut dalam rombongan Ki Rangga. Terutama pengganti Glagah Putih yang sedang sakit.” Mendengar titah Pangeran Pati itu, Ki Rangga pun segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Pangeran, sebagaimana petunjuk dari Ki Patih, hamba akan mencari pengganti Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang sedang sakit. Sedangkan Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan tetap akan kami bawa, tentu saja dengan seijin Pangeran Pati.” _“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Aku sarankan engkau mengajak Pandan Wangi untuk menjadi salah satu anggotamu.”_ Pangeran Pati tersenyum. Jawabnya kemudian, “Sepertinya Paman Bango Lamatan menikmati sekali perjalanan itu,” Pangeran Pati berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tetapi apakah Ki Rangga sudah mempunyai gambaran siapa yang akan menggantikan Ki Jayaraga dan GlagahPutih?”
Untuk beberapa saat Ki Rangga membeku ditempatnya. Dalam benak Ki Rangga belum tergambar sama sekali siapa yang akan menggantikan gurudan murid itu.
Tiba-tiba Pangeran Pati tertawa pendek sehingga telah membuat Ki Rangga mengangkat wajahnya. Namun dengan cepat segera ditundukkanwajahnya kembali.
“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil tersenyum, “Aku mempunyai saran. Entah engkau setuju atau tidak. Namun aku melihat dari sisi ketinggian ilmunya serta peran sertanya selamaMataram berdiri.”
Ki Rangga menjadi berdebar debar. Dia tidak berani menduga duga dan hanya menunggu titah dari Pangeran Pati. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Aku sarankan engkau mengajak Pandan Wangi untuk menjadi salah satu anggotamu.” Jika saja ada petir yang menyambar sejengkal diatas kepala Ki Rangga saat itu, tentu dia tidak akan seterkejut itu mendengar titah PangeranPati.
Tanpa sadar Ki Rangga telah mengangkat kepalanya kembali sambil memandang wajah Pangeran Pati dengan penuh tanda tanya. Namun begitu Ki Rangga menyadari keterlanjurannya, dengan cepat dia segera menundukkan wajahnya dalam-dalam. “Bagaimana Ki Rangga,” bertanya Pangeran Pati kemudian mengejutkan Ki Rangga, “Apakah saranku ini akan dapat menjadi bahanpertimbanganmu?”
“Hamba Pangeran,” dengan suara bergetar Ki Rangga menjawab, “Hamba belum dapat menjawab sekarang ini. Hamba akan menanyakan langsung kepada Pandan Wangi.” “Bukan itu maksudku,” sela Pangeran Pati, “Kesediaan Pandan Wangi untuk bergabung dalam rombonganmu itu nantinya terserah dia. Namun yang ingin aku ketahui adalah pertimbanganmu, tanggapanmu atassaranku ini.”
Betapa keresahan melanda hati Ki Rangga. Dia benar-benar tidak dapat menebak apa sebenarnya tujuan Pangeran Pati menyarankan Pandan Wangi untuk ikut dalam rombongannya. Untuk beberapa saat nalar Ki Rangga rasa rasanya menjadi buntu. Apalagi ketika sekilas Ki Rangga teringat akan wasiat adik seperguruannya sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir di Lemah Cengkar. Ki Rangga benar-benar tidak mempunyai pendapat sama sekali atas saran dari Pangeran Pati itu. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati itu kemudian begitu melihat Ki Rangga hanya diam mematung, “Pertimbanganku menunjuk Pandan Wangi selain karena ilmu dari jalur Menoreh yang mengalir dalam dirinya, Pandan Wangi juga sekarang ini tidak mempunyai beban yang dapat memberatkan dirinya untuk melakukan tugas ini.” Hampir saja Ki Rangga membuka mulutnya untuk membantah pendapat Pangeran Pati itu, jika saja tidak didengarnya Pangeran Pati itu meneruskan kata-katanya. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Mungkin dalam benak Ki Rangga tidak setuju dengan pendapatku karena Pandan Wangi mempunyai seorang putera yang tentu saja memerlukan bimbingan sepeninggal Ki Swandaru,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Akan tetapi anak laki-laki Ki Swandaru itu sekarang sudah dalam pengasuhan dan bimbingan di tangan yang tepat, Ki Argapati. Perkembangan anak laki-laki Ki Swandaru itu akan berbeda jauh jika di bimbing oleh kakeknya sendiri. Dan tentu saja anak itu nantinya akan mewarisi senjata kebesaran perdikan Menoreh yaitu sebuah tombak pendek dari kakeknya, bukan sepasang pedang tipis milik ibunya.” Ki Rangga tertegun. Apa yang disampaikan oleh Pangeran Pati itu benar-benar di luar perhitungannya. Ki Rangga pun diam-diam dalam hati mengagumi akan kecerdasan dan ketelitian Pangeran Pati itu dalam melihat sebuah permasalahan. Akhirnya Ki Rangga pun menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Pangeran. Apa yang Pangeran titahkan kepada hamba, akan hamba sampaikan kepada Pandan Wangi maupun Ki Gede Menoreh agar menjadi pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya.” Tampak sebuah senyum menghiasai bibir Pangeran Pati. Untuk sejenak suasana menjadi sunyi. Lamat-lamat dari gardu penjagaan depan terdengar tawa para prajurit jaga yang tertahan-tahan. Agaknya mereka mencoba menghilangkan kantuk dengan berkelakar namun tidak sampailepas kendali.
“Nah,” berkata Pangeran Pati kemudian setelah sejenak terdiam, “Sekarang aku ingin mengetahui pendapatmu tentang keadaan akhir-akhir ini terutama yang menyangkut dengan rencana penobatan Kangmas Wuryah beberapa hari ke depan.” Berdesir tajam dada Ki Rangga. Ki Rangga sama sekali tidak tahu harus memberi tanggapan atau tidak. Urusan penobatan Raja Mataram yang baru benar-benar bukan menjadi urusannya dan dia merasa tidak mempunyai hak walaupun sekedar usul maupun saran. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Sebelumnya aku minta maaf bahwa wisuda kenaikan pangkat Ki Rangga menjadi Tumenggung tertunda sehubungan dengan mangkatnya Ayahanda Prabu,” Pangeran Pati berhenti sejenak sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun janji Ayahanda Prabu itu akan aku laksanakan. Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah adanya tuntutan dari Ibunda Ratu Lung Ayu yang menghendaki janji Ayahanda Prabu semasa masih menjadi Adipati Anom untuk dilaksanakan.” Kepala Ki Rangga terlihat semakin tunduk. Sesuai titah Ki Patih, Ki Rangga tidak berani memberikan tanggapan apapun sehubungan dengan penobatan Raja baru. “Ki Rangga, apakah Ki Rangga mendengarkan titahku?” tiba-tiba Pangeran Pati bertanya yang membuat jantung Ki Rangga terlonjak kaget. “Sendika dawuh, Pangeran,” jawab Ki Rangga sambil menyembah, “Hamba tidak tahu harus bagaimana menanggapi keadaan yang sedang berkembang di kotaraja akhir-akhir ini. Sebaiknya hamba hanya menjadi pendengar yang baik saja.” “O, tidak Ki Rangga,” sahut Pangeran Pati cepat, “Engkau mempunyai bakat otak yang cemerlang dan perhitungan yang cermat serta kehati-hatian Ki Rangga dalam memutuskan sebuah permasalahan sangat aku kagumi, walaupun kadang bagiku terkesan agak lamban. Namun semua itu mengandung maksud untuk kebaikan di kelak kemudian hari.” Ki Rangga hanya dapat menyembah sambil mengangguk anggukkan kepalanya. “Nah, sekarang aku minta Ki Rangga menanggapi keadaan yang sedang berkembang akhir-akhir ini di kotaraja,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil membetulkan letak kain panjangnya. Untuk sekejap Ki Rangga tertegun. Namun tiba-tiba Ki Rangga teringat peristiwa sore tadi di gerbang kotaraja sebelah Utara. Rombongan Ki Rangga sempat tertahan beberapa saat karena ada kesalah-pahaman. Ampun Pangeran,” berkata Ki Rangga kemudian, “Menurut pengamatan hamba, keadaan kotaraja akhir-akhir ini memang cukup menegangkan. Sore tadi sewaktu memasuki pintu gerbang sebelah utara, hamba dan rombongan sempat tertahan tidak boleh memasuki kotaraja. Untunglah ada Ki Lurah Adiwaswa yang datang kemudian menggantikan mereka yang sedang bertugasjaga.”
Pangeran Pati mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Ki Rangga, siapa prajurit Mataram yang tidak mengenal nama Ki Rangga Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh? Apakah prajurit yang sedang bertugas jaga itu tidak mempercayai lencana dari Eyang Buyut Mandaraka yang engkau bawa?” Ki Rangga menggeleng sambil menjawab, “Mohon ampun Pangeran, para prajurit yang bertugas jaga di gerbang utara tadi sore bukan prajurit Mataram. Namun mereka prajurit Kadipaten Panaraga yang diperbantukan untuk menjaga keamanan kotaraja menjelang penobatan Raja Mataram yang baru beberapa hari mendatang.” Tampak Pangeran Pati menarik nafas panjang sambil termenung. Dilemparkan pandangan matanya ke pintu pringgitan yang tertutup rapat. Seolah olah Pangeran Pati yang semasa mudanya bernama Raden Mas Rangsang itu ingin menjenguk keadaan yang terjadi di baliknya. Sejenak suasana menjadi sunyi kembali. Tampak kerut merut di dahi Pangeran Pati. Sepertinya Pangeran Pati sedang memikirkan sesuatu yangsangat rumit.
“Keadaan telah berkembang semakin rumit,” berkata Pangeran Pati kemudian seolah olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Entah siapa yang telah mendatangkan sepasukan prajurit dari kadipaten Panaraga itu. Yang pasti bukan Eyang Buyut Mandaraka,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun aku juga tidak bisa begitu saja menuduh Ibunda Ratu Lung Ayu yang kebetulan berasal dari Panaraga yang menggerakkan semua itu. Yang aku takutkan adalah kemungkinan adanya pihak ketiga yang sengaja ingin memancing di airkeruh.”
Kembali suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang malam yang sayup-sayup dalam irama ajeg. Sesekali terdengar tawa bernada rendah dari para prajurit nDalem Kapangeranan yang sedang bertugas jaga di regol depan. “Ki Rangga”, berkata Pangeran Pati kemudian memecah keheningan, “Sebenarnyalah Eyang Buyut Mandaraka dalam sidang para kadang Sentana Dalem telah memutuskan untuk memenuhi janji Ayahanda Prabu, mengangkat Kangmas Wuryah untuk menduduki singgasana. Entah pertimbangan apa yang membuat Eyang Buyut Mandaraka membuat keputusan seperti itu. Namun kedatangan para prajurit Kadipaten Panaraga itu sangat mencurigakan. Apalagi menurut berita dari para prajurit sandi yang telah disebar, para Adipati bawahan Mataram banyak yang tidak setuju dengan keputusan Eyang Buyut Mandaraka ini. Aku mendengar mereka akan menggerakkan pasukan gabungan ke Mataram untuk menekan Eyang Buyut Mandaraka agar membatalkan pengangkatan Kangmas Wuryah. Mereka menilai Mataram yang besar ini tidak selayaknya mengangkat seorang Raja yang tuna grahita, walaupun itu dengan alasan sebagai pemenuhan janji Ayahanda Prabu. Sejarah akan mencatat dan itu bagi mereka akan merupakan aib yang tidak mungkin dihapus dalam sejarahnegeri ini.”
Tampak kepala Ki Rangga terangguk angguk. Sesungguhnya Ki Rangga merasa tidak sepantasnya jika dia ikut menilai keputusan Ki Patih Mandaraka. Demikian juga Raden Mas Wuryah bagaimanapun juga adalah putera dari Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Raja Mataram yang besar, walaupun semua orang mengetahui keadaan yang sebenarnya. Namun menilai kerabat Istana bagi Ki Rangga yang merasa dari kalangan _pidak pedarakan_ sangatlah tidak pantas. Maka berkata Ki Rangga kemudian menanggapi, “Ampun Pangeran, hamba merasa tidak sepantasnya dan tidak selayaknya untuk menilai semua kejadian itu. Hamba hanyalah _trah pidak pedarakan_ yang hanya dapat berharap negeri ini akan semakin baik dibawah pemerintah Raja yang baru nantinya, siapapun yang akan menduduki singgasana.” “O, alangkah sempitnya pemikiranmu itu, Ki Rangga,” sahut Pangeran Pati dengan serta merta, “Setiap kawula hendaknya mempunyai hak untuk menyalurkan pendapatnya. Dengan demikian setiap kawula di Mataram akan merasa _handarbeni_ sehingga akan merasa terpanggil untuk selalu _hangrungkebi_ namun tetap dalam garis garis paugeran yang berlaku sehingga setiap Kawula, Sentana dan bakan Raja, tidak akan merasa malu untuk setiap saat _mulat sarira hangrasa wani_.” Untuk beberapa saat Ki Rangga termenung. Dicobanya untuk mencerna setiap patah kata dari Pangeran Pati itu. Diam-diam dalam hati Ki Rangga mempunyai harapan, jika Pangeran Pati yang di masa mudanya bernama Raden Mas Rangsang itu suatu saat akan _sinengkakake ing ngaluhur _dan menduduki tahta, kemakmuran dan kesejahteraan serta keadilan benar-benar dapat terwujud di seluruh pelosok negeri. “Nah, Ki Rangga. Sejujurnya aku ingin mengetahui isi hatimu,” bertanya Pangeran Pati selanjutnya, “Menurut hati nurani Ki Rangga, engkau condong kepada keputusan Eyang Buyut Mandaraka ataukah cenderung menyetujui pendapat kebanyakan para Adipati bawahanMataram?”
Ki Rangga benar-benar merasa _ewuh pekewuh_. Namun Agul Agulnya Mataram itu segera dapat menilai setiap kejadian dengan nalurinya sebagai seorang prajurit. Maka jawabnya kemudian sambil menyembah dalam-dalam, “Ampun Pangeran Pati. Sudah berapa kali permasalahan yang rumit sekalipun dapat terpecahkan oleh Ki Patih Mandaraka. Sejak Mataram belum berdiri, ketika terjadi perang di pinggir bengawan sore. Kemudian perang besar antara Mataram yang baru berdiri melawan Pajang, penaklukan Madiun dan masih banyak lagi permasalahan yang bagi orang kebanyakan seakan akan tidak mungkin terpecahkan, namun Ki Patih Mandaraka berhasil mencari jalan keluarnya,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Mohon ampun Pangeran, untuk kali ini pun hamba percaya Ki Patih akan mampu mencari jalan keluarnya.” Tampak Pangeran Pati mengangguk anggukkan kepalanya. Walaupun Pangeran Pati itu tidak mengalami peristiwa-peristiwa yang disebutkan oleh Ki Rangga karena memang saat itu Pangeran Pati belum lahir, namun dari cerita mulut ke mulut serta babat babat yang ditulis oleh para pujangga, semua memuji kecemerlangan otak dan siasat yang dipakai oleh Ki Patih Mandaraka yang semasa mudanya bernama Ki Juru Mertani itu. “Nah, sambil menunggu hari penobatan, aku minta Ki Rangga untuk tidak meninggalkan kotaraja,” berkata Pangeran Pati pada akhirnya. Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun dengan cepat Ki Rangga segera tanggap. Maka jawabnya kemudian, “Ampun Pangeran. Hamba menunggu titah dari Pangeran dan juga Ki Patih. Namun jika diijinkan hamba memohon waktu sepekan untuk menengok keluarga hamba di Menoreh dan juga keluarga di Sangkal Putung.” Tampak kerut merut di kening Pangeran Pati. Tanyanya kemudian, “Apakah Ki Rangga tidak ingin menghadiri hari penobatan Agung itu? Semua Senapati yang berkedudukan di kotaraja dan daerah sekitar Mataram yang terdekat akan diundang. Demikian juga para Adipati bawahan Mataram juga akan diundang.” Berdesir dada Ki Rangga mendengar penjelasan Pangeran Pati itu. Jika dia masih harus menunggu beberapa hari di kotaraja, tentu rencananya untuk melaksanakan laku terakhir dari aji pengangen-angen itu akantertunda tunda.
Akhirnya bagi Ki Rangga tidak ada jalan lain kecuali berterus terang kepada Pangeran Pati dengan harapan calon pewaris tahta Mataram ini mengerti dan mengijinkan dirinya untuk melaksanakan rencananya. “Ampun beribu ampun Pangeran,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menyembah dalam-dalam, “Hamba yang picik ini masih merasa kurang dan takut akan balas dendam yang selalu membelit dalam setiap langkahkehidupan hamba.”
“Makssud Ki Rangga?” bertanya Pangeran Pati dengan serta merta. Untuk beberapa saat Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menegakkan punggungnya. Kemudian dengan menganggukkan kepala terlebih dahulu, Ki Rangga pun kemudian secara singkat menceritakan tentang ancaman sang Maharsi pertapa dari goa Langse beberapa saat yang lalu. Tampak kerut merut di wajah Pangeran Pati semakin dalam. Untuk beberapa saat Pangeran yang bernama Raden Mas Rangsang itu termenung. Berbagai pertimbangan pun hilir mudik dalam benaknya. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati pada akhirnya, “Alasan yang engkau gunakan untuk meminta ijin itu bagiku kurang tepat. Di saat kotaraja sedang dalam keadaan kisruh karena ada beberapa pihak yang ingin memanfaatkan keadaan ini, Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh justru akan meninggalkan kotaraja. Beberapa Adipati telah mengancam untuk mengerahkan pasukan gabungan untuk menekan Eyang Buyut Mandaraka agar mengurungkan penobatan kangmas Wuryah. Demikian juga aku mendengar desas-desus akan kehadiran pasukan Kadipaten Panaraga yang mendukung penobatan Kangmas Wuryah. Keadaan ini bukannya semakin membaik, bahkan entah siapa yang telah menghembuskan berita, bahwa yang menggerakkan para Adipati yang menentang keputusan Eyang Buyut Mandaraka itu dari nDalem Kapangeranan ini. Banyak yang menuduh bahwa aku telah bersekongkol dengan paraAdipati itu.”
Tergetar dada Ki Rangga. Apa yang telah disampaikan itu ternyata telah menjadikan Pangeran Pati salah paham. Dalam keadaan genting itu dirinya dianggap akan _tinggal glanggang acolong playu_. “Ampun Pangeran,” cepat-cepat Ki Rangga menyahut sambil menyembah, “Bukan maksud hamba untuk _tinggal glanggang acolong_ _playu _disaat kotaraja dalam keadaan genting. Namun jika hamba memang tidak diperkenankan meninggalkan kotaraja, hamba siap. Namun jika diijinkan besok pagi hamba akan mengantar Ki Gede Matesih dan putrinya ke Menoreh terlebih dahulu. Hamba berjanji malam sebelum sirep uwong, hamba sudah menghadap kembali di nDalem Kapangeranan ini.” Tampak wajah Pangeran Pati membeku. Tidak ada kesan apapun di wajah calon pewaris tahta Mataram itu. Dada Ki Rangga berdesir tajam. Sikap diam Pangeran Pati itu telah menggelisahkan hatinya. Maka cepat-cepat Ki Rangga menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Pangeran. Hamba menunggu titah Pangeran.” Sejenak suasana menjadi sunyi. Pangeran Pati belum menanggapi apa yang disampaikan Ki Rangga. Hanya deru angin malam yang terdengar meniup daun-daun pepohonan di halaman nDalem Kapangeranan itu. “Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian dengan suara berat dan dalam, “Katakan sejujurnya, bagaimana tanggapan Ki Rangga atas keputusan Eyang Buyut Mandaraka untuk menobatkan Kangmas Wuryah sebagai Susuhunan Prabu di Mataram?” Terkejut Ki Rangga mendengar pertanyaan Pangeran Pati itu. Tanpa sadar Ki Rangga telah bergeser setapak mundur. Namun Ki Rangga segera teringat titah Ki Patih untuk tidak memberikan tanggapan apapun sehubungan dengan penobatan Raja Mataram yang baru. “Mohon ampun Pangeran,” akhirnya Ki Rangga memberanikan diri untuk menyampaikan titah Ki Patih beberapa saat yang lalu, “Sesuai titah Ki Patih pada saat kami menghadap, Ki Patih melarang kami untuk memberikan tanggapan apapun sehubungan dengan rencana penobatan Raja baru beberapa hari mendatang.” “Ki Rangga,” sahut Pangeran Pati cepat, “Aku tidak ingin mengetahui titah Eyang Buyut Mandaraka. Namun yang ingin aku ketahui adalah sikapmu terhadap penobatan Kangmas Wuryah,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian dengan nada suara yang berat dan dalam, “Dalam keadaan yng serba tidak menentu ini, Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus Mataram harus berani mengambil sikap. Aku secara pribadi memang tidak menentang akan keputusan yang telah diambil oleh Eyang Buyut Mandaraka. Namun disisi lain, aku juga tidak dapat mengabaikan suara para Adipati yang menentang penobatan Kangmas Wuryah. Nah, aku ingin mengetahui isi hati Ki Rangga yang sebenarnya. Di manakah Ki Rangga sekarang ini berpihak?” Berdesir dada Ki Rangga menghadapi pertanyaan Pangeran Pati. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ki Rangga pun hanya dapat menundukkan wajahnya dalam-dalam dengan detak jantung yang semakinkencang.
“Ki Rangga, hidup ini adalah pilihan,” lanjut Pangeran Pati begitu melihat Ki Rangga hanya diam membeku, “Engkau telah memilih memasuki dunia keprajuritan itu adalah pilihanmu. Sekarang keadaan di dalam kotaraja ini bagaikan api di dalam sekam, setiap saat jika ada angin cukup kuat yang bertiup, api itu akan menyala dan akan membakar apa saja yang ada di sekitarnya,” Pangeran Pati berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Nah, dalam keadaan seperti ini, aku ingin mengetahui peran apa yang Ki Rangga pilih. Menjadi sekam yang diam menunggu dibakar api, menjadi api itu sendiri yang menunggu kesempatan untuk membakar sekelilingnya, ataukah justru Ki Rangga akan mengambil peran menjadi angin yang dapat menyebabkan api itu membesar dan menghancurkan semuanya?” Pertanyaan bertubi-tubi dari Pangeran Pati itu benar-benar diluar dugaan Ki Rangga. Sebagai prajurit dia hanyalah siap menerima perintah dari atasannya, dan baik Ki Patih maupun Pangeran Pati kedua keduanya adalah atasannya sehingga Ki Rangga tidak mampu untuk menjawab. “Ki Rangga,” kembali terdengar suara Pangeran Pati, namun kali ini terdengar sedikit keras sehingga telah membuat jantung Ki Rangga semakin melonjak lonjak, “Aku justru mempunyai dugaan yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan Mataram ini. Aku khawatir Ki Rangga tidak akan memilih menjadi apapun dalam keadaan seperti ini. Itu terbukti dengan keinginan Ki Rangga untuk meminta ijin meninggalkan kotaraja dengan dalih menyempurnakan ilmu, melaksanakan laku demi tercapainya puncak ilmu yang sedang Ki Rangga tekuni. Nah, aku ingin mengetahui, apakah keuntungan yang didapat oleh Mataram sehubungan peningkatan ilmumu itu nantinya? Apakah peningkatan ilmu Ki Rangga itu nantinya justru tidak akan membahayakan Mataram?” Terkejut bagaikan disengat ribuan kalajengking Ki Rangga. Dengan kedua tangan gemetar dan tubuh yang membungkuk dalam-dalam Ki Rangga segera menghaturkan sembah sambil menjawab, “Ampun Pangeran, tidak ada niat sebesar biji sesawi pun di dalam hati hamba untuk _merang kampuh jingga_ terhadap Mataram. Hamba telah bersetia mengabdi Mataram sampai akhir hayat hamba.” Tiba-tiba Pangeran Pati tertawa masam yang membuat jantung Ki Rangga semakin menggelepar. Berkata Pangeran Pati kemudian setelah tawanya reda, “Engkau memang telah bertekad dan bersumpah setia dengan Mataram. Namun apakah Ki Rangga menyadari? Bahwa seseorang atau segolongan orang dapat saja memperalat Ki Rangga untuk tujuan tertentu tanpa Ki Rangga sadari? Dengan kemampuan Ki Rangga yang tinggi, sekelompok orang akan berdiri di belakang untuk meniup angin yang kencang agar api yang berada di dalam hati Ki Rangga membara. Apakah itu pernah Ki Rangga sadari?” Ki Rangga benar-benar dibuat pusing tujuh keliling mendengar semua pertanyaan-pertanyaan dari Pangeran Pati. Tidak ada satupun dari pertanyaan itu yang mampu dijawabnya karena sebenarnyalah Ki Rangga melihat Mataram itu dalam satu kesatuan yang utuh. Jika kemudian di dalam kalangan keluarga Istana terjadi perpecahan, Ki Rangga merasa itu bukan menjadi urusannya. “Ki Rangga,” kembali terdengar suara Pangeran Pati dengan nada sedikit keras, “Selama ini Ki Rangga selalu menerima perintah dari Eyang Buyut Mandaraka. Demikian juga setiap laporan selesainya tugas selalu kepada Eyang Buyut Mandaraka. Semua itu memang benar adanya sesuai jalur perintah dalam tatanan keprajuritan. Eyang Buyut Mandaraka mempunyai kewenangan untuk meneruskan perintah Raja kepada para panglimanya atau para Senapatinya termasuk Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus,” kembali Pangeran Pati berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Nah, sebenarnya dalam setiap permasalahan yang timbul dan dapat mengganggu keamanan dan ketertiban serta kelangsungan pemerintahan Mataram, siapakah yang selama ini telah menjadi api, yang menjadi sekam dan yang telah bertindak hanya menjadi angin yang meniup api supaya berkobar menjadibesar?”
Tampak kepala Ki Rangga semakin tunduk. Ki Rangga benar-benar tidak mampu mengikuti jalan pikiran Pangeran Pati dan sekaligus tidak mampuuntuk mencernanya.
Tiba-tiba Pangeran Pati berdiri sambil berkata, “Ki Rangga, engkau aku perkenankan untuk meninggalkan nDalem Kapangeranan. Aku rasa tidak ada gunanya lagi aku berbicara. Ki Rangga ternyata belum mampu menangkap maksudku.” Alangkah terkejutnya Ki Rangga melihat perubahan sikap Pangeran Pati itu. Dengan cepat dia segera berjongkok sambil menghaturkan sembah. Sedangkan Pangeran Pati pun kemudian membalikkan tubuh dan sejenak kemudian hilang di balik pintu ruang tengah. Ki Rangga yang merasakan suasana menjadi kurang nyaman itu segera bergeser mundur dan kemudian keluar dari pintu pringgitan. Sejenak Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Diedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Tampak beberapa prajurit jaga sedang duduk-duduk di gardu depan. Dengan langkah satu-satu, Ki Rangga pun kemudian menyeberangi pendapa dan kemudian turun ke halaman. Beberapa prajurit tampak memandanginyadari gardu depan.
Tiba-tiba terdengar langkah tergesa gesa dari arah pintu seketeng yang terbuka. Seorang pelayan dalam telah berlari lari menyusul Ki Rangga. Ki Rangga pun menghentikan langkahnya. “Ki Rangga,” berkata pelayan dalam itu kemudian, “Aku diperintah oleh Pangeran Pati untuk mengantar Ki Rangga ke Istana Kepatihan sekarang juga. Ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh KiPatih.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga menjadi heran. Mengapa harus pelayan dalam nDalem Kapangeranan yang mengantar jika memang Ki Patih ada keperluan dengannya? Bukankah para prajurit jaga itu dapat diperintahsetiap saat?
Namun keheranan itu hanya disimpan dalam hati saja oleh Ki Rangga. Ki Rangga tidak memberikan tanggapan dan hanya kepalanya saja yangterangguk.
Demikianlah kedua orang itu segera berjalan beriringan meninggalkan nDalem Kapangeranan. Sepanjang jalan, keduanya tampak tenggelam dalam lamunan masing-masing. Ki Rangga masih belum dapat meraba mengapa Pangeran Pati terlihat begitu gusar terhadapnya? Bahkan rasa rasanya dia telah diusir dari nDalem Kapangeranan beberapa saat tadi. “Mungkin aku dianggap mementingkan kepentingan pribadiku mengalahkan kepentingan tugasku sebagai prajurit,” membatin Ki Rangga sambil terus melangkah, “Namun apa yang akan aku lakukan adalah demi keselamatan diriku di masa mendatang. Selain itu, dengan menyempurnakan aji pengangen-angen, tugas-tugas ku di masa mendatang juga akan semakin ringan.” Namun Ki Rangga tidak berani menyalahkan sikap terakhir Pangeran Pati kepadanya. Pangeran Pati mempunyai hak mutlak untuk memberinya perintah, meskipun perintah itu sangat berat sekalipun. “Aku yang terlalu _kaduk wani kurang deduga_,” kembali Ki Rangga berangan angan sambil terus melangkah mengikuti langkah-langkah pelayan dalam itu, “Aku tidak tahu apa yang akan aku sampaikan kepada Ki Gede Matesih. Jika memang aku harus tinggal di kotaraja beberapa hari kedepan, tentu Ki Gede dan putrinya pun akanikut tertahan.”
Berpikir sampai disitu dada Ki Rangga rasa rasanya bagaikan dihimpit berbongkah bongkah batu padas. Di sisi lain, Ki Rangga pun sudah memendam rindu kepada istri dan anaknya. “Tetapi sepertinya aku menangkap adanya perseteruan antara Ki Patih dan Pangeran Pati,” membatin Ki Rangga sambil melangkah dan menundukkan kepalanya, “Jika memang sudah diputuskan Raden Mas Wuryah yang akan menduduki tahta, mengapa para Adipati berusaha menggagalkannya? Dan sepertinya Pangeran Pati mendukung gagasan paraAdipati itu.”
Untuk kesekian kalinya Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam yang mulai terasa dingin. Diikuti saja langkah pelayan dalam itu tanpa memperhatikan keadaan disekelilingnya.
“Jika benturan itu benar-benar terjadi, aku tidak tahu harus berpihak kepada siapa,” kembali Ki Rangga tenggelam dalam lamunannya, “Apa yang disampaikan oleh Pangeran Pati beberapa saat tadi memang benar. Aku harus memilih karena aku adalah seorang senapati yang membawahi pasukan khusus Mataram. Kehadiran pasukan khusus tentu akan sangat diperhitungkan baik oleh pihak Panaraga maupun pihak para Adipati pendukung Pangeran Pati.” Tiba-tiba Ki Rangga merasakan suasana lain. Tanpa terasa keduanya telah berbelok ke jalan yang sempit dan terlihat hanya pategalan yang sepi di kiri kanan jalur jalan setapak itu. Kembali dada Ki Ranggaberdesir tajam.
“Apakah ini jalur jalan menuju ke Kepatihan?” bertanya Ki Rangga kemudian tanpa menghentikan langkahnya. Pelayan dalam itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Banyak jalan pintas yang dapat kita ambil. Salah satunya lewat pategalan ini.” Untuk beberapa saat Ki Rangga heran. Rasa rasanya memang aneh ada sebuah pategalan di tengah-tengah kotaraja. Panggraita Ki Rangga pun telah menyentuh sesuatu yang tidak pada tempatnya. “Aneh,” gumam Ki Rangga kemudian seolah olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Di tengah kotaraja masih ada pategalan seluasini.”
Kembali pelayan dalam itu tertawa. Katanya kemudian, “Ki Rangga memang tidak mengetahui keadaan kotaraja dengan baik. Memang di tengah-tengah kotaraja hampir dikatakan sudah tidak ada lagi pategalan seperti ini. Pategalan seperti ini adanya di pinggiran kotaraja.” Mendengar pelayan dalam itu menyebut pinggiran kota, seketika langkah Ki Rangga pun terhenti. Tanpa sadar dipandanginya pelayan dalam itu dengan seksama. Namun pelayan dalam itu ternyata bukan pelayan dalam yang menerimanya di nDalem Kapangeranan baberapa saat yang lalu. Hanya pakaiannya saja yang sama, namun ternyata orangnya berbeda. Pelayan dalam yang menyadari dirinya sedang diperhatikan itu telah mundur beberapa langkah. Tiba-tiba dia memasukkan kedua jarinya ke dalam mulut. Sejenak kemudian terdengar suara suitan nyaring yang membelah udara malam. Ki Rangga terkejut. Dengan cepat dia segera mempersiapkan diri. Ditrapkan aji sapta pangrungu dan sapta pandulu untuk mengamati keadaan di sekelilingnya. Jantung Ki Rangga pun bagaikan terlepas dari tangkainya. Dalam keremangan malam tampak gerumbul-gerumbul yang terletak beberapa puluh tombak jauhnya dari tempatnya berdiri bergerak gerak dan akhirnya bagaikan hantu yang bangkit dari kubur, beberapa orang muncul dari balik rimbunnya semak dan belukar dan berjalan mendekat. “Apa maksud semua ini?” bertanya Ki Rangga kemudian dengan nada yang berat dan dalam begitu orang-orang itu telah berada dihadapannya.
Pelayan dalam itu kembali tertawa pendek. Katanya kemudian, “Malam ini nama Ki Rangga akan tinggal kenangan. Tidak akan ada yang mengetahui keberadaan Agul Agulnya Mataram itu lagi. Dia akan lenyap ditelan Bumi. Bahkan kuburnya pun tidak akan pernah ditemukan.” Kembali desir tajam menggores jantung Ki Rangga. Namun Ki Rangga masih belum yakin jika semua ini adalah atas perintah Pangeran Pati. “Baiklah Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian, “Jika kalian memang mempunyai maksud yang kurang baik terhadapku, itu aku sadari karena aku yakin kalian hanyalah orang-orang suruhan. Nah, katakan siapa yang telah menyuruh kalian untuk melenyapkan aku di tempatini!”
Untuk sejenak orang-orang itu saling pandang. Namun pelayan dalam itulah yang menjawab, “Tidak usah banyak cakap! Siapapun yang menyuruh kami, itu tidak penting bagimu, Ki Rangga. Engkau akan segera terkapar tak bernyawa di pategalan sepi ini dan kuburmu pun tidak akan ada yang mencari.” Selesai berkata demikian pelayan dalam itu segera memberi isyarat kawan kawannya untuk bergerak. Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah berada dalam kepungan. “Empat orang,” membatin Ki Rangga sambil mencoba mengamat amati setiap wajah orang-orang yang mengepungnya itu. Namun Ki Rangga ternyata tidak mengenal satu pun di antara mereka. Sejenak kemudian, mereka pun mulai terlibat dalam perkelahian yang tanpa ujung pangkal. Ki Rangga merasa bahwa perkelahian itu seharusnya tidak perlu terjadi, karena tidak didasari oleh permasalahan yangjelas.
Semakin lama tandang keempat orang yang mengepungnya itu semakin cepat dan dahsyat. Mereka telah merambah pada tataran ilmu yang tinggi. Kecepatan dan kekuatan yang melandasi setiap serangan mereka benar-benar mulai berbahaya. Tidak ada jalan lain bagi Ki Rangga selain mengetrapkan ilmu kebal setinggi tingginya. Dia ingin menundukkan mereka tanpa harus melukainya sehingga dia dapat memperoleh keterangan siapa yang telah menjadi dalang di balik semua itu serta alasan yang jelas. Namun keempat orang itu ternyata adalah orang-orang yang pilih tanding. Serangan-serangan mereka datang silih berganti bagaikan ombak yang menerjang batu karang di pesisir pantai yang curam. Untuk beberapa saat Ki Rangga masih mencoba menilai kekuatan lawan lawannya. Sesekali benturan terjadi dan Ki Rangga dapat mengukur bahwa mereka adalah benar-benar orang-orang yang memang telah diperhitungkan dengan cermat untuk menghadapinya. “Siapakah sebenarnya orang-orang ini?” pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Rangga sambil terus meningkatkan serangannya. Namun keempat orang itu sepertinya sudah dapat membaca setiap gerakan Ki Rangga sehingga berkali kali serangan Ki Rangga menemui kegagalan. Tidak ada jalan lain bagi Ki Rangga selain meningkatkan kecepatan geraknya. Sejenak kemudian keempat orang itu pun dibuat kebingungan dengan kecepatan Ki Rangga yang diluar kewajaran. Namun dengan sigap keempat orang itu segera membentuk sebuah barisan yang aneh. Keempat orang itu bergerak seperti layaknya dalam sebuah gelar perang kecil. Langkah-langkah mereka sangat teratur dan serangan-serangan mereka pun sangat terkendali dan tidak membuangbuang tenaga.
Ki Rangga menjadi heran. Tidak mungkin mereka mampu melakukan semua itu jika tidak berasal dari satu perguruan. Namun Ki Rangga belum dapat meraba dari perguruan manakah mereka itu berasal. Semakin lama pertempuran itu semakin dahsyat. Pategalan yang kosong itu bagaikan sedang dilanda puting beliung. Tanah bagaikan di bajak berpuluh puluh ekor kerbau liar. Ranting-ranting dan dahan-dahan sebesar lengan orang dewasa berpatahan terkena sambaran tangan-tangan mereka. Sementara pusaran angin yang tercipta dari arena pertempuran itu telah menggugurkan daun-daun serta menebas batang-batang perdu. Pertempuran itu agaknya akan memakan waktu yang belum dapat ditentukan. Masing-masing berusaha meningatkan serangan maupun pertahanan untuk menjatuhkann lawan. Namun keadaann seperti itu tidak berlangsung lama ketika dengan sudut matanya Ki Rangga menangkap tiga sosok bayangan muncul begitu saja dari rimbunnya semak belukar. “Siapa lagi mereka itu?” membatin Ki Rangga sambil terus bertempur. Dengan mengerahkan aji sapta pandulu Ki Rangga mencoba mengenali ketiga sosok yang sedang melangkah perlahan mendekati arenapertempuran.
Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga. Aji sapta pandulunya seakan membentur sebuah tirai yang tidak kasat mata. Ki Rangga tidak mampu mengenali wajah ketiga orang itu walaupun mereka telah berjalansemakin dekat.
“Ilmu apalagi ini,” membatin Ki Rangga. Perhatiannya yang sedikit terpecah ternyata harus dibayar mahal. Sebuah serangan yang kuat dari salah satu lawannya ternyata telah menyentuh pundak. Ki Rangga terdorong ke samping beberapa langkah. Namun belum sempat Ki Rangga memperbaiki kedudukannya, serangan berikutnya telah melanda. Untunglah Ki Rangga dilindungi oleh ilmu kebal sehingga serangan lawan itu sama sekali tidak berpengaruh. Bahkan ketika serangan susulan itu melanda, dengan tatag Ki Rangga menyambutnya. Akibatnya ternyata diluar dugaan keempat lawannya. Lawan yang berbenturan dengan Ki Rangga itu terpental beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah. Namun dengan cepat dia segera melenting berdiri. “Beri kami jalan!” tiba-tiba terdengar sebuah bentakan dari arah samping kanan Ki Rangga. Ketika Ki Rangga berpaling, tampak tiga orang yang menutupi wajah mereka dengan ikat kepala menerjang maju. Dengan cepat Ki Rangga segera memutar tubuhnya menghadap penuh ke arah tiga orang yang baru datang itu. Namun Ki Rangga menjadi terkejut buka alang kepalang. Ketiga orang itu tidak menyerangnya secara kewadagan, akan tetapi tampak tangan-tangan mereka terjulur ke depan dan akibatnya sungguh sangat dahsyat tiada taranya. Ki Rangga merasakan sebuah serangan yang tidak kasat mata telah menerjangnya. Sebuah serangan yang berupa hawa dingin yang menyergap sekujur tubuhnya dan mendatangkan rasa kantuk yang tak tertahankan. Ki Rangga terkejut. Namun dengan cepat Senapati pasukan khusus Mataram itu segera mengambil sikap. Tidak ada jalan lain untuk menghentikan serangan itu kecuali dengan menghentikan sumbernya. Berpikir sampai disitu Ki Rangga segera meloncat mundur beberapa langkah. Namun Ki Rangga yang meloncat mundur itu sekarang tidak seorang diri. Ada dua ujud Ki Rangga yang berdiri di kanan dan kiri yang sama-sama mengambil sikap menyilangkan tangan di depan dada sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Namun hanya sekejap, ketiga ujud Ki Rangga itu segera menegakkan kepalanya kembali. Sejenak kemudian dari ketiga ujud Ki Rangga itu meluncurlah berlarik larik sinar kebiru-biruan menerjang ketiga orang yang sedang mengikat Ki Rangga dengan ilmu sirep yang tiada taranya. Tampak ketiga orang itu terkejut. Namun hanya dua orang yang meloncat menghindari terjangan sorot mata Ki Rangga. Sedang satu orang yang tersisa ternyata tidak meloncat menghindar. Dia justru telah meloncat ke depan seolah olah dengan sengaja menyongsong serangan Ki Rangga lewat sorot matanya. Ki Rangga terkejut namun sudah terlambat untuk menyadari. Serangan lewat sorot mata itu telah menembus tubuh lawannya yang meloncat ke depan. Namun serangan itu sama sekali tidak berpengaruh. Sorot mata Ki Rangga yang mampu menghancurkan batu hitam sebesar kerbau itu hanya lewat saja menembus tubuh lawannya yang seolah terbuat dari segumpal asap. Kekuatan sorot mata itu pun kemudian menerjang sebatang pohon sebesar paha orang dewasa. Batang pohon itu pun meledak dan pecahberkeping keping.
Namun yang terjadi selanjutnya telah mengejutkan Ki Rangga. Lawannya yang meloncat ke depan itu telah mengetahui ujud Ki Rangga yang sebenarnya. Dengan gerakan yang tidak dapat diikuti oleh mata wadag, ujung jari telunjuknya telah mengethuk dada Ki Rangga perlahan saja. Namun akibatnya sangat luar biasa. Ki Rangga merasakan sekujur tubuhnya tidak dapat digerakkan walaupun hanya ujung ibu jari kakinya. Selagi Ki Rangga mengalami kesulitan yang dahsyat, telapak tangan kiri lawan telah mengusap tengkuknya. Ki Rangga pun merasakan sebuah sergapan rasa kantuk yang dahsyat dan tak tertahankan lagi. Sebenarnyalah Ki Rangga sedang berjuang untuk dapat menggerakkan tubuhnya kembali. Namun usapan di tengkuknya itu telah mengakhiri perlawanan Ki Rangga. Sejenak kemudian tubuh Ki Rangga pun terkulai dan jatuh pada kedua lututnya. Jika saja tidak ada sebuah tangan yang kuat menahan pundak Ki Rangga, tentu Agul Agulnya Mataram itu sudah jatuh terjerembab di atas rerumputan. ————————oOo————————- _Bersambung ke jilid 24_kembali ke STSD-22
|
lanjut ke STSD-24
SHARE THIS:
*
LIKE THIS:
Like Loading...
PAGES: 1
2
3
11 RESPONSES
*
HAIRUL WAHDI, on June 13, 2020 at 3:28 pm said: Susah membuka kelanjutan STSD-23 bagian 2 & 3Reply
*
KI AREMA , on June 13, 2020 at 10:11 pm said: Cerita ini kejar tayang ki sanak. Sehingga, disini harus menunggu bagian demi bagian. Satu jilid dibagi tiga bagian. Jika satu bagian telah lengkap, baru dimasukkan dalam halaman jilid ini. Jika ingin mengikuti setiap hari, halaman-demi halaman, silahkan kunjungi https://cersilindonesia.wordpress.com/stsd-23Reply
*
ROSIDIALI144@GMAIL.COM , on June 13, 2020 at7:10 pm said:
Matursuwunki tenggo wedaran lajengipunReply
*
WAHYU KURNIAWAN, on June 14, 2020 at 10:01 pm said: terima kasih sudah melanjutkan … walaupun belum banyakReply
*
ROSIDI , on June 16, 2020 at 5:39 pm said: Jooski bisa bikin dekdek pyur jantungReply
*
MBAH SIGITO, on June 18, 2020 at 11:38 am said: Mantab dengan gaya tutur yang agak berbeda tapi tetap GAYENG.. sekarang agung Sedayu dan orang orang tua makin bahagia hidupnya..banyak becandanya
Reply
*
RARA WULAN , on June 23, 2020 at 4:27 am said: Assalamualaikum gerbong ada disini Ki Arema dan Mbah Man, semoga sll sehat, wedaran lancar jaya . WassalamReply
*
KI AREMA , on June 29, 2020 at 9:21 pm said: Bagian du STSD-23 sudah terisi.Silahkan …..
Reply
*
KI AREMA , on June 29, 2020 at 9:22 pm said: bagian tiga, insya Allah segeraa menyusulReply
*
COS, on July 7, 2020 at 9:46 pm said: Bikin penasaran, tp yg jelas RAS pasti selamat dg ilmunya atau bantuanorang lain.
Menunggu kelanjutannya mbah.Reply
*
SALEH, on July 9, 2020 at 3:55 pm said: Kami tunggu mbah, semakin mendebarkanReply
LEAVE A REPLY CANCEL REPLY Fill in your details below or click an icon to log in:*
*
*
*
*
Email (required) (Address never made public)Name (required)
Website
You are commenting using your WordPress.com account. ( Log Out /Change )
You are commenting using your Google account. ( Log Out /Change )
You are commenting using your Twitter account. ( Log Out /Change )
You are commenting using your Facebook account. ( Log Out /Change )
Cancel
Connecting to %s
Notify me of new comments via email. Notify me of new posts via email.*
LOGO
Logo ADBM Group
*
KARYA
S.H. MINTARDJA
*
API DI BUKIT MENOREHBUKU I.
001 002
003
004
005
006
007
008
009
010
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
031
032
033
034
035
036
037
038
039
040
041
042
043
044
045
046
047
048
049
050
051
052
053
054
055
056
057
058
059
060
061
062
063
064
065
066
067
068
069
070
071
072
073
074
075
076
077
078
079
080
081
082
083
084
085
086
087
088
089
090
091
092
093
094
095
096
097
098
099
100
BUKU II.
101 102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
BUKU III.
201 202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267
268
269
270
271
272
273
274
275
276
277
278
279
280
281
282
283
284
285
286
287
288
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298
299
300
BUKU IV.
301 302
303
304
305
306
307
308
309
310
311
312
313
314
315
316
317
318
319
320
321
322
323
324
325
326
327
328
329
330
331
332
333
334
335
336
337
338
339
340
341
342
343
344
345
346
347
348
349
350
351
352
353
354
355
356
357
358
359
360
361
362
363
364
365
366
367
368
369
370
371
372
373
374
375
376
377
378
379
380
381
382
383
384
385
386
387
388
389
390
391
392
393
394
395
396
TAMAT
*
BLOG INDUK
Api di Bukit Menoreh*
MBAH_MAN
mbah_man
TADBM.
397
398
399
400
401
402
403
404
405
406
407
408
409
410
411
412
413
415
416
STSD.
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Blog at WordPress.com. WPDesigner.
Email (Required) Name (Required) WebsiteLoading Comments...
Comment
×
%d bloggers like this: Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use. To find out more, including how to control cookies, see here: CookiePolicy
* FollowFollowing
* API DI BUKIT MENOREH*
Already have a WordPress.com account? Log in now.*
* API DI BUKIT MENOREH* Customize
* FollowFollowing
* Sign up
* Log in
* Copy shortlink
* Report this content * Manage subscriptions* Collapse this bar
Details
Copyright © 2024 ArchiveBay.com. All rights reserved. Terms of Use | Privacy Policy | DMCA | 2021 | Feedback | Advertising | RSS 2.0